BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus
neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak
dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ikterik ?
2. Apa penyebab dan faktor resiko dari Ikterik ?
3. Apa tanda dan gejala
dari Ikterik ?
4. Bagaimana pengananan
dari Ikterik ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya tentang Neonatus bagi semua mahasiswa yang membaca
makalah ini.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian Ikterik
b. Mengetahui penyebab dari Ikterik
c. Mengetahui tanda dan gejala Ikterik
d. Mengetahui penanganan dari Ikterik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ikterik
Ikterus atau
Hiperbilirubinemia pada BBL adalah meningginya kadar bilirubin didalam jaringan
ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning. Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus
cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi
baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal
patologis. Ikterus atau warna kuning pada bayi baru lahir dalam batas normal
pada hari ke 2-3 dan menghilang pada hari ke-10.
Ikterus
neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya
ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005).
Ikterus adalah
warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumukan bilirubin,
sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin tidak dikendalika (Mansjoer : 2000).
Peningkatan
kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah(SDM) dan
resopbsi lanjut dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil.
Koondisi mungkin tidak berbahaya atau membuat neonates beresiko terhadap
komplikasi multiple atau efek-efek yang tidak diharapkan (Doenges : 1996).
Macam – macam ekterus neonatorum :
1.
Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada
bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >
2mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian
akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar
1 mg/dL selama 1 – 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar
bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi ( 7 – 14 mg/dL ) dan
penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2 – 4 minggu bahkan
dapat mencapai waktu 6 minggu.
2.
Ikterus Patologis
Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Peningkatan kadar bilirubin total serum 0,5 mg/dL/jam. Ikterus diikuti dengan adanya tanda – tanda penyakit yang
mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat
badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
3. Kern ikterus
Kern Ikterus adalah ikterus berat
dengan disertai gumpalan bilirubin pada ganglia basalis
a.
Kadar bilirubin lebih dari 20 mg % pada bayi cukup
bulan.
b. Kadar bilirubin lebih dari 18 mg % pada bayi premature.
c.
Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan ensefalopati.
d. Pada bayi dengan hipoksia, asidosis dan hipoglikemia kern ikterus dapat
timbul walaupun kadar bilirubin dibawah 16 mg %.
e.
Pengobatannay dengan tranfusi tukar darah.
Gambaran Klinik :
a.
Mata berputar – putar
b. Tertidur – kesadaran menurun
c.
Sukar menghisap
d. Tonus otot meninggi
e.
Leher kaku
f.
Akhirnya kaku seluruhnya
g. Pada kehidupan lebih lanjut terjadi spasme otot dan kekekuan otot
h. Kejang – kejang
i.
Tuli
j.
Kemunduran mental
4. ikterus
hemolitik
a.
Disebabkan inkompatibilitas rhesus, golongan darah
ABO, golongan darah lain kelainan eritrosit congenital.
b. Atau defisiensi enzim G-6-PD.
5. ikterus obstruktif
a.
Dikarenakan sumbatan penyaluran empedu baik dalam
hati maupun diluiar hati. Akibatnya kadar bilirubin direk atau indirek
meningkat.
b. Kadar bilirubin direk diatas 1 mg % harus curiga adanya obstruksi
penyaluran empedu.
c.
Penanganannay adalah tindakan operatif.
2.2
Penyebab dan faktor
resiko
Kuning pada bayi timbul karena
adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang berasal dari pemecahan hemoglobin
dalam sel darah merah) di bawah kulit. Pada saat masih dalam kandungan, janin membutuhkan
sel darah merah yang banyak karena paru-parunya belum berfungsi. Sel darah
merah mengangkut oksigen dan nutrisi dari ibu ke bayi melalui plasenta. Sesudah
bayi lahir, paru-parunya sudah berfungsi, sehingga darah merah ini tidak
dibutuhkan lagi dan dihancurkan. Salah satu hasil pemecahan itu adalah
bilirubin.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus, yaitu sebagai
berikut:
1.
Prahepatik (ikterus hemolitik)
Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses
hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah
merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri.
2. Pascahepatik (obstruktif)
Adanya
obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin konjungasi akan
kembali lagi ke dalam sel hati dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian
sebagian masuk dalam ginjal dan diekskresikan dalam urine. Sementara itu,
sebagian lagi tertimbun dalam tubuh sehingga kulit dan sklera berwarna kuning
kehijauan serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran empedu menyebabkan
ekresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga fases akan
berwarna putih keabu-abuan, liat, dan seperti dempul.
3. Hepatoseluler (ikterus hepatik)
Konjugasi
bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mengalami kerusakan maka
secara otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubin sehingga bilirubin direct meningkat dalam aliran darah. Bilirubin direct mudah dieksresikan oleh ginjal
karena sifatnya mudah larut dalam air, namun sebagian masih tertimbun dalam
aliran darah.
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum :
·
Faktor Maternal :
o
Ras atau kelompok etnik tertentu
(Asia, Native American,Yunani)
o
Komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh)
o
Penggunaan infus oksitosin dalam
larutan hipotonik.
o
ASI
·
Faktor Perinatal :
o
Trauma lahir (sefalhematom,
ekimosis)
o
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
· Faktor Neonatus :
o
Prematuritas
· Faktor genetik :
o
Polisitemia
o
Obat (streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
o
Rendahnya asupan ASI
o
Hipoglikemia
o
Hipoalbuminemia
2.3 Tanda dan gejala
Fisiologis :
Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak
mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus.
Ikterus fisiologis ini memiliki tanda-tanda berikut:
a) Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi
lahir.
b)
Kadar bilirubin inderect tidak
lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang
bulan.
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih
dari 5 mg% per hari.
d) Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%
e) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
f) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
Patologis :
Ikterus patologis
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda
dan gejala sebagai berikut:
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
b) Kadar bilirubin inderect melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
c) Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg% per hari.
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
e) Kadar bilirubin direct
lebih dari 1 mg%
f) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
Daerah
|
Luas Ikterus
|
Kadar Bilirubin (mg%)
|
1
|
Kepala dan leher
|
5
|
2
|
Daerah 1 + badan bagian atas
|
9
|
3
|
Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai
|
11
|
4
|
Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki d bawah tungkai
|
12
|
5
|
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki
|
16
|
Derajat ikterus neonates menurut Kramer
Zona
|
Bagian tubuh yang kuning
|
Rata-rata serum bilirubin indirek (umol/l)
|
1
2
3
4
5
|
Kepala dan leher
Pusat-leher
Pusat-paha
Lengan + tungkai
Tangan + kaki
|
100
150
200
250
>250
|
2.4 Penanganan
1. Ikterus fisiologis
a. Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal
lainnya
b. Lakukan perawatan bayi sehari-hari, seperti:
§ Memandikan
§ Melakukan
perawatan tali pusat
§
Membersihkan jalan nafas
§
Menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi,
kurang lebih 30 menit
c. Jelaskan pentingnya hal-hal seperti :
§ Memberikan ASI
sedini dan sesering mungkin
§ Menjemur bayi di bawah sinar matahari dengan kondisi telanjang selama 30
menit,15 menit dalam posisi terlentang, dan 15 menit sisanya dalam posisi
tengkurap
§ Memberikan
asupan makanan bergizi tinggi bagi ibu,
§ Menganjurkan
ibu untuk tidak minum jamu
d. Apabila ada tanda ikterus yang lebih parah
(misalnya feses berwarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul), anjurkan ibu untuk
segera membawa bayinya ke puskesmas. Anjurkan ibu untuk kontrol setelah 2 hari.
2. Hiperbilirubinemia sedang
a. Berikan ASI secara adekuat
b. Lakukan pencegahan hipotermi
c. Letakkan bayi di tempat yang cukup sinar matahari ±
30 menit, selama 3-4 hari
d. Lakukan pemeriksaan ulang 2 hari kemudian
e. Anjurkan ibu
dan keluarga untuk segera merujuk bayinya jika keadaan bayi bertambah parah
serta mengeluarkan feses bewarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul
3. Hiperbilirubenemia berat
a. Berikan informer
consent pada keluarga untuk segera merujuk bayinya
b. Selama persiapan merujuk, berikan ASI secara adekuat
c. Lakukan pencegahan hipotermi
d. Bila mungkin, ambil contoh darah ibu sebanyak 2,5 ml.
Bentuk terapi
bermacam-macam, disesuaikan
dengan kadar kelebihan yang ada, yaitu :
1. Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah
kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi
dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu
oleh organ hati. Terapi sinar
juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga
menimbulkan resiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi
berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang
digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada
sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan energi
sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu
tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup
dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang
berlebihan dari lampu-lampu tersbut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi
belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu
pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap organ reproduksi
itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi,
posisi tubuh bayi akan diubah-ubah, terlentang lalu telungkup agar penyinaran
berlangsung merata. Jika sudah
turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan.
Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah
waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani
proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses
pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluaran cairan empedu ke organ
usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang
tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang
pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada bayi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan terapi sinar ialah :
a.
Lampu yang dipakai sebaiknya
tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk menghindarkan turunnya energi yang
dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
b. Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas
mungkin terkena sinar.
c.
Kedua mata ditutup dengan penutup
yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata
dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang
visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka
penutup mata.
d.
Daerah kemaluan ditutup, dengan
penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari
cahaya fototerapi.
e.
Posisi lampu diatur dengan jarak
20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal
f.
Posisi bayi diubah tiap 8 jam,
agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin
g.
Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali
atau sewaktu-waktu bila perlu
h.
Pemasukan cairan dan minuman dan
pengeluaran urine, feses dan muntah diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan
tanda dehidrasi
i.
Hidrasi bayi diperhatikan, bila
perlu konsumsi cairan ditingkatkan
j.
Lamanya terapi sinar dicatat
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi
sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak
efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan
metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan kolaboratif
dengan tim medis.
Pemberian terapi sinar dapat
menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut bersifat sementara yang
dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara penggunaan
terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.
Kelainan yang mungkin timbul pada
neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :
a.
Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible
water loss) Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan
menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau
berat lahir sangat rendah. Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian
cairan tambahan.
b. Frekuensi defekasi meningkat
Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan pembentukan
enzim laktase yang dapat meningkatkan peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c.
Timbul kelainan
kulit “flea bite rash” di daerah muka badan dan ekstrimitas
Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi
dihentikan. Dilaporkan pada beberapa terjadi “Bronze baby syndrom” hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi
sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
d. Peningkatan suhu
Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan
suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada
bayi premature fungsi termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini
fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang digunakan dan
dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus dengan jangka waktu (unterval) yang
lebih singkat.
e.
Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum,
lateragi, dan iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang
dengan sendirinya.
f. Gangguan pada mata dan pertumbuhan
Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan
ditemukan pada binatang percoban. Pada neonatus yang mendapat terapi sinar,
gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya serta gangguan tumbuh
kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun demikian diperlukan
kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut.
2. Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan
dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu
dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat
menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus
diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya
keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara, serta
gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni
akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari
donor dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan masukkan darah donor secara berulang dan bergantian melalui suatu prosedur.
Jumlah darah yang diganti sama dengan yang dikeluarkan. Pergantian darah bisa mencapai 75-85% dari jumlah
darah neonatus.
Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar
bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang
antibody yang menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia.
Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada
neonatus dengan kadar bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dari
20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada neonatus dengan kadar
bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali pusat kurang
dari 10 mg%, peningkatan kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan sebagai
darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab
hiperbilirubinemia.
Transfusi tukar dilakukan, tetapi sebelumnya
label darah harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan permintaan dan tujuan
transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus kurang dari 27 jam. Darah
yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam sebelum transfusi tukar bayi
dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi dibawa ke ruang
aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.
Prosedur transfusi tukar : Bayi ditidurkan di atas
meja dengan fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan alarm jantung diatur
di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis,
melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu dikeluarkan, kemudian
darah pengganti sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah
menunggu 20 detik, lalu darah bayi diambil lagi sebanyak 200 cc dan
dikeluarkan. Kemudian dimasukan darah
pengganti dengan jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian tersebut
diulangi sampai selesai. Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam
tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar
berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum
transfusi tukar.
Saat transfusi tukar, darah donor
dihangatkan sesuai suhu temperatur ruang. Pemanasan darah dapat merusak
eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan bilirubin. Pemanasan tidak
boleh dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan microwave. Darah
dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk tujuan tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan
selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab membantu dan
mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium dan glukosa
darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi tukar selesai,
dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan bilirubin,
kemudian diulangi tiap 4-8 jam atau sesuai anjuran dokter. Selama dan sesudah
transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli udara dan trombosis udara dan
trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia, hiperkalemia,
hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar, trombositopenia,
perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis virus B.
3. Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya
phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel
hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga
obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan
bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah
tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek
sampingnya adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang
minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang
justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan
menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan
fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI.
Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI
juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru
meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice).
Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan
kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk
sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi
normal, baru boleh disusui lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi
tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan
posisi yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang,
misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai
09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di
bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas
jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi
melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula
situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ikterus adalah
keadaan dimana meningginya kadar bilirubin didalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning. Ini disebabkan
oleh karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang
berasal dari pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit. Ikterus dikelompokkan menjadi dua yaitu
Ikterus fisiologis yang biasanya timbul pada hari kedua dan ketiga dan
tanpa ada dasar patologis sedangkan Ikterus patologis muncul pada 24 jam
pertama bayi lahir dan akan menetap selama 2 minggu dan kadar bilirubinnya
melampaui batas kadar hiperbilirubinemia. Penanganan pada bayi ikterus
bermacam-macam sesuai tingkatan dan kadar bilirubinnya.
B. Saran
Dalam pembuatan
makalah ini , masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan kritik dan saran yang membangun
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Selain itu,
makalah ini disarankan pula untuk dijadikan tolak ukur dalam pembuatan makalah-makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA