Antika beloved

Antika beloved
Assalamu'alaikum

Kamis, 02 Januari 2014

Konflik di Ambon 2011




Kerusuhan Ambon 2011





Kerusuhan Ambon 2011 adalah serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh bentrokan antarwarga di Kota Ambon, Maluku, Indonesia tanggal 11 dan 12 September 2011. Dua kelompok massa saling melempar batu, memblokir jalan, dan merusak kendaraan di sejumlah titik di Kota Ambon serta sejumlah rumah warga dibakar. Akibat peristiwa ini, tujuh orang tewas, lebih dari 65 orang luka-luka, dan ribuan orang mengungsi. Kerusuhan ini sempat dikabarkan bermuatan SARA, walaupun pihak berwenang kemudian membantah hal tersebut.
Menurut keterangan Kepolisian kepada pers pada 11 September 2011, kerusuhan ini bermula dari kematian seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen atau Darmin Saiman atau Darvin Saiman atau Darwis Saiman. Pria ini mengalami kecelakaan tunggal dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona, menuju pos Benteng. Di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, yang bersangkutan hilang kendali dan menabrak pohon gadihu. Ia kemudian menabrak rumah seorang warga di sana bersama Okto.
Nyawa tukang ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal inilah yang menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan. Dia dibawa ke rumah sakit dan meninggal. Lalu, ia diisukan dibunuh. Padahal, ia mengalami kecelakaan.
Dua hari pasca bentrok di sejumlah tempat, aktivitas Kota Ambon masih belum kembali normal. Belum ada perkantoran yang buka, toko-toko pun masih tutup. Bahkan, Ambon Plasa yang biasanya penuh sesak dengan pengunjung, tak beraktivitas.Kegiatan belajar-mengajar juga belum sepenuhnya aktif. Hari ini mereka sudah mulai kembali sekolah. Namun, tak semua murid bisa masuk, terutama mereka yang harus melewati daerah bekas bentrokan.
Namun Gubernur Maluku, Karel Albert Rahalu, pagi menyatakan sutuasi keamanan di Ambon telah kondusif, menyusul penambahan 200 personel Brimob Makassar ke Kota Ambon. Sementara, Wakil Walikota Ambon, Sam Latuconsina menyatakan, sampai saat ini belum ada aktivitas perkantoran pada lingkup Pemerintah Kota Ambon.
Konflik horisontal yang ada di Indonesia sering disebabkan dan bernuanasa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Contoh konflik antar suku yaitu Konflik Ambon 2011. Yang menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah lagi perilaku egoism, dan perbedaan pendapat menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar masyarakat Ambon.
Adapun strategi untuk mengatasi konflik di Ambon ini adalah pengkompromian. Pengkompromian akan berhasil bila kedua belah pihak saling menghargai, dan saling percaya. Kepuasan diri-sendiri, Collaborating berarti kedua pihak yang berkonflik kedua belah pihak masih saling mempertahankan keuntungan terbesar bagi dirinya atau kelompoknya saja. Smoothing (Penghalusan) atau conciliation berarti tindakan mendamaikan yang berusaha untuk memperbaiki hubungan dan menghindarkan rasa permusuhan terbuka tanpa memecahkan dasar ketidaksepakatan itu. Conciliation berbentuk mengambil muka (menjilat) dan pengakuan Conciliation cocok untuk bila kesepakatan itu sudah tidak relevan lagi dalam hubungan kerja sama. Alhasil setelah dua hari pasca bentrok di sejumlah tempat, aktivitas Kota Ambon sudah kembali normal.

Konflik Di Sambas



Kerusuhan Sambas

Konflik Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang terakhir (tahun 1999) merupakan konflik terbesar dan akumulasi dari kejengkelan suku Dayak dan Melayu terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menjadi korban.
Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu. Peristiwa berkembang dengan bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang warga suku Melayu yang berakibat tiga orang suku Melayu meninggal dunia dan dua orang luka-luka. Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan penumpang angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.
Akibatnya terjadi saling balas membalas antara warga suku Melayu dibantu suku Dayak menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan pengrusakan.  Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga suku Melayu dibantu warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas sampai kedaerah sekitarnya. Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-besaran. Kemudian isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya. Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1977 dan juga pernah terjadi terhadap etnis yang lain.
Konflik berkepanjangan antara suku Melayu dibantu suku Dayak melawan suku Madura ternyata bukannya menemui jalan penyelesaian namun sebaliknya semakin memanas. Perselisihan di antara dua kubu seperti tidak berkesudahan, dendam yang melekat pada suku-suku tersebut semakin lama semakin besar. Pemerintah pun belum menemukan jalan yang tepat untuk mendamaikan suku yang bertikai. Sebagai akumulasi pertikaian tersebut, pecahlah kerusuhan besar-besaran di Kabupaten Sambas pada tahun 1999. Konflik besar yang memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan masyarakat Sambas bahakan masyarakat Kalimantan Barat.
Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu. Kejadian ini menyulut amarah suku Madura yang kemudian membuat rencana penyerangan kepada suku Melayu. Dua hari kemudian, pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu desa lainnya. Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya. Warga suku Melayu dibantu suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.
Peristiwa mengerikan tersebut memberikan dampak besar terutama bagi warga Madura yang merasa semakin tertekan oleh aksi kubu lawan yang semakin brutal. Kerusuhan ini berkembang semakin besar, sebagai akibatnya terjadilah pengungsian warga Madura dalam jumlah cukup besar menuju Singkawang dan Pontianak bahkan hingga ke Malaysia. Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari ; 489 orang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar atau dirusak, 8 masjid atau madrasah dirusak serta dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.
Kejadian tersebut tidak hanya mengakibatkan kepanikan bagi warga suku Melayu, suku Dayak maupun suku Madura. Kepanikan juga sangat dirasakan oleh masyarakat lain di kabupaten Sambas bahkan di Kalimantan Barat. Selain itu, aparat dan pemerintah setempat pun merasakan kepanikan tersebut. Meski demikian, aparat tetap dituntut untuk segera melakukan tindakan pengantisipasian kerusuhan tersebut.
Tindakan aparat keamanan yang dilakukan antara lain melokalisir dan mencegah meluasnya kejadian, kemudian membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku Madura yang melarikan diri ke hutan, setelah dibentuk penampungan, aparat lalu membantu para pengungsi ditempat penampungan. Setelah kejadian tersebut , barulah aparat dan pemerintah mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal.
Kerusuhan antar suku yang terjadi di wilayah Sambas tersebut menyisakan masalah baru, yakni ribuan pengungsi yang berjejalan di tempat-tempat penampungan. Lebih dari 28 ribu pengungsi asal suku Madura memenuhi tempat penampungan yang tersebar di Singkawang dan Pontianak, ibu kota Kabupaten Sambas sekaligus Provinsi Kalimantan Barat. Para pengungsi itu sebagian besar adalah wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Pemerintah setempat terpaksa memakai gelanggang olahraga, stadion, asrama haji, barak militer, kantor pemerintah, kantor militer, dan bahkan gudang-gudang, untuk menampung pengungsi ini. Tapi jumlah pengungsi tetap lebih besar dari tempat yang tersedia. Asrama haji, misalnya, yang seharusnya hanya untuk 800 orang, dijejali lebih dari 3.000 pengungsi.
Sekitar 400 orang pengungsi lainnya ketakutan menjadi korban kebrutalan para penyerang, dan terpaksa lari menyelamatkan diri hingga ke perbatasan Serawak. Mereka terutama berasal dari Desa Sebubus dan Tinggak Sambas, Kecamatan Paloh, Sambas. Pengungsi itu menyeberang dengan kapal laut dari Pelabuhan Paloh ke Pelabuhan Samatan, di wilayah Malaysia yang berjarak 105 kilometer dari Kuching, Serawak.
Pasca kejadian tersebut, muncul masalah baru mengenai pengungsi. Terutama pengungsi dari warga Madura yang hijrah ke Malaysia, jika semuanya harus dipulangkan ke Madura, apakah pulau di ujung timur Pulau Jawa itu bisa menampung mereka, itu juga akan merepotkan.
Pemerintah Kalimantan Barat sendiri sebenarnya sudah punya niat untuk memindahkan masyarakat Madura itu ke Kabupaten Ketapang, di sebelah selatan Pontianak. Namun niat itu langsung ditolak oleh masyarakat Dayak dan Melayu asal Ketapang, yang Kamis pekan lalu mendatangi Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin. Masyarakat Dayak dan Melayu tampaknya sudah punya tekad yang bulat untuk tidak lagi diusik oleh kehadiran warga Madura.
Selain masalah pengungsi, pemerinttah segera mengambil kebijakan mengenai penangan dari kasus ini terutama penegakkan hukum terhadap pelaku kerusuhan tersebut. Ada beberapa upaya proses hukum yang dilakukan pihak berwenang terhadap warga dua suku yang bertikai tersebut.
Indonesia merupakan Negara dengan beragam etnis di dalamnya. Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan ini membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika dilihat lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Faktor penyebab konflik tersebut bermacam-macam, antara lain ; konflik terjadi diawali dengan terjadinya konflik individu, faktor ekonomi, perbedaan keyakinan atau agama, serta kesenjangan sosial. Factor penyebab konflik Sambas ini adalah factor suku, dan perbedaan kepercayaan.
Adapun strategi untuk mengatasi konflik di Sambas ini adalah Pemaksaan. Pemaksaan hanya cocok dalam situasi-situasi tertentu untuk melaksanakan perubahan-perubahan penting dan mendesak. Pemaksaan dapat mengakibatkan bentuk-bentuk perlawanan terbuka dan tersembunyi (sabotase). Avoding (Penghindaran) berarti menjauh dari lawan konflik. Penghindaran hanya cocok bagi individu atau kelompok yang tidak tergantung pada lawan individu atau kelompok konflik dan tidak mempunyai kebutuhan lanjut untuk berhubungan dengan lawan konflik. Compromissing (Pengkompromian) berarti tawar menawar untuk melakukan kompromi untuk mendapatkan kesepakatan. Tujuan masing-masing pihak adalah untuk mendapatkan kesepakatan terbaik yang saling menguntungkan.