Kerusuhan Sambas
Konflik
Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak
1970, namun yang terakhir (tahun 1999) merupakan konflik terbesar dan akumulasi
dari kejengkelan suku Dayak dan Melayu terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari
Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas
sejak awal 1900-an itu ikut menjadi korban.
Awal
peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura
yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu. Peristiwa
berkembang dengan bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang warga
suku Melayu yang berakibat tiga orang suku Melayu meninggal dunia dan dua orang
luka-luka. Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga
suku Melayu dengan penumpang angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar
ongkos.
Akibatnya
terjadi saling balas membalas antara warga suku Melayu dibantu suku Dayak
menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan
pengrusakan. Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan,
pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga
suku Melayu dibantu warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas
sampai kedaerah sekitarnya. Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara
besar-besaran. Kemudian isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu
untuk kepentingannya. Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun
1977 dan juga pernah terjadi terhadap etnis yang lain.
Konflik
berkepanjangan antara suku Melayu dibantu suku Dayak melawan suku Madura
ternyata bukannya menemui jalan penyelesaian namun sebaliknya semakin memanas.
Perselisihan di antara dua kubu seperti tidak berkesudahan, dendam yang melekat
pada suku-suku tersebut semakin lama semakin besar. Pemerintah pun belum
menemukan jalan yang tepat untuk mendamaikan suku yang bertikai. Sebagai
akumulasi pertikaian tersebut, pecahlah kerusuhan besar-besaran di Kabupaten
Sambas pada tahun 1999. Konflik besar yang memberikan dampak luar biasa bagi
kehidupan masyarakat Sambas bahakan masyarakat Kalimantan Barat.
Pada
tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku
pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu. Kejadian ini menyulut
amarah suku Madura yang kemudian membuat rencana penyerangan kepada suku
Melayu. Dua hari kemudian, pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku
madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu desa lainnya. Hari
berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu
karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi
perkelahian antara kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran,
pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya. Warga suku Melayu dibantu suku Dayak
melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan
terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.
Peristiwa
mengerikan tersebut memberikan dampak besar terutama bagi warga Madura yang
merasa semakin tertekan oleh aksi kubu lawan yang semakin brutal. Kerusuhan ini
berkembang semakin besar, sebagai akibatnya terjadilah pengungsian warga Madura
dalam jumlah cukup besar menuju Singkawang dan Pontianak bahkan hingga ke
Malaysia. Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari ; 489 orang tewas, 168
orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12
mobil dan 9 motor dibakar atau dirusak, 8 masjid atau madrasah dirusak serta
dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura
mengungsi.
Kejadian
tersebut tidak hanya mengakibatkan kepanikan bagi warga suku Melayu, suku Dayak
maupun suku Madura. Kepanikan juga sangat dirasakan oleh masyarakat lain di
kabupaten Sambas bahkan di Kalimantan Barat. Selain itu, aparat dan pemerintah
setempat pun merasakan kepanikan tersebut. Meski demikian, aparat tetap
dituntut untuk segera melakukan tindakan pengantisipasian kerusuhan tersebut.
Tindakan
aparat keamanan yang dilakukan antara lain melokalisir dan mencegah meluasnya
kejadian, kemudian membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian
dan penyelamatan suku Madura yang melarikan diri ke hutan, setelah dibentuk
penampungan, aparat lalu membantu para pengungsi ditempat penampungan. Setelah
kejadian tersebut , barulah aparat dan pemerintah mengadakan dialog dengan
tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta melakukan upaya penegakan hukum
terhadap para pelaku kriminal.
Kerusuhan
antar suku yang terjadi di wilayah Sambas tersebut menyisakan masalah baru,
yakni ribuan pengungsi yang berjejalan di tempat-tempat penampungan. Lebih dari
28 ribu pengungsi asal suku Madura memenuhi tempat penampungan yang tersebar di
Singkawang dan Pontianak, ibu kota Kabupaten Sambas sekaligus Provinsi
Kalimantan Barat. Para pengungsi itu sebagian besar adalah wanita, anak-anak,
dan orang-orang lanjut usia. Pemerintah setempat terpaksa memakai gelanggang
olahraga, stadion, asrama haji, barak militer, kantor pemerintah, kantor
militer, dan bahkan gudang-gudang, untuk menampung pengungsi ini. Tapi jumlah
pengungsi tetap lebih besar dari tempat yang tersedia. Asrama haji, misalnya,
yang seharusnya hanya untuk 800 orang, dijejali lebih dari 3.000 pengungsi.
Sekitar
400 orang pengungsi lainnya ketakutan menjadi korban kebrutalan para penyerang,
dan terpaksa lari menyelamatkan diri hingga ke perbatasan Serawak. Mereka
terutama berasal dari Desa Sebubus dan Tinggak Sambas, Kecamatan Paloh, Sambas.
Pengungsi itu menyeberang dengan kapal laut dari Pelabuhan Paloh ke Pelabuhan
Samatan, di wilayah Malaysia yang berjarak 105 kilometer dari Kuching, Serawak.
Pasca
kejadian tersebut, muncul masalah baru mengenai pengungsi. Terutama pengungsi
dari warga Madura yang hijrah ke Malaysia, jika semuanya harus dipulangkan ke
Madura, apakah pulau di ujung timur Pulau Jawa itu bisa menampung mereka, itu
juga akan merepotkan.
Pemerintah
Kalimantan Barat sendiri sebenarnya sudah punya niat untuk memindahkan
masyarakat Madura itu ke Kabupaten Ketapang, di sebelah selatan Pontianak.
Namun niat itu langsung ditolak oleh masyarakat Dayak dan Melayu asal Ketapang,
yang Kamis pekan lalu mendatangi Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin.
Masyarakat Dayak dan Melayu tampaknya sudah punya tekad yang bulat untuk tidak
lagi diusik oleh kehadiran warga Madura.
Selain
masalah pengungsi, pemerinttah segera mengambil kebijakan mengenai penangan
dari kasus ini terutama penegakkan hukum terhadap pelaku kerusuhan tersebut.
Ada beberapa upaya proses hukum yang dilakukan pihak berwenang terhadap warga
dua suku yang bertikai tersebut.
Indonesia
merupakan Negara dengan beragam etnis di dalamnya. Beragamnya suku, agama, ras,
dan golongan ini membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari
ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis
bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat
sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga
bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama,
melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Di balik
konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika
dilihat lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis
lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”,
mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat
etnis lain sebagai musuh baginya. Faktor penyebab konflik tersebut
bermacam-macam, antara lain ; konflik terjadi diawali dengan terjadinya konflik
individu, faktor ekonomi, perbedaan keyakinan atau agama, serta kesenjangan
sosial. Factor penyebab konflik Sambas ini adalah factor suku, dan perbedaan
kepercayaan.
Adapun
strategi untuk mengatasi konflik di Sambas ini adalah Pemaksaan. Pemaksaan
hanya cocok dalam situasi-situasi tertentu untuk melaksanakan
perubahan-perubahan penting dan mendesak. Pemaksaan dapat mengakibatkan
bentuk-bentuk perlawanan terbuka dan tersembunyi (sabotase). Avoding (Penghindaran) berarti menjauh dari lawan
konflik. Penghindaran hanya cocok bagi individu atau kelompok yang tidak
tergantung pada lawan individu atau kelompok konflik dan tidak mempunyai
kebutuhan lanjut untuk berhubungan dengan lawan konflik. Compromissing
(Pengkompromian) berarti tawar menawar untuk melakukan kompromi untuk
mendapatkan kesepakatan. Tujuan masing-masing pihak adalah untuk mendapatkan kesepakatan terbaik yang saling
menguntungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar